Thursday 2 May 2013

Sejarah Indonesia : Sekolah Jaman Kolonial


Peraturan pemerintah 1818 mengharuskan diadakannya peraturan yang perlu bagi pribumi tidak menghasilkan sekolah bagi anak Indonesia. Ini disebabkan kekaburan politik pendidikan di tanah jajahan dan kesulitan finansial yang beratyang di hadapi belanda, sehingga menjauhkan diri dari pendidikan pribumi.

Peraturan pertama mengenai pendidikan dikeluarkan pada tahun 1871, yang memberikan uraian panjang lebar tentang kurikulum pendidikan guru, perkembangan pesat sesudah 1863 sewaktu ekonomi, membumbung tinggi di bawah menteri liberal Van De Putte, dan segera terhenti setelah depresi ekonomi 1885. Peraturan 1871 segera di ganti dengan keputusan 1885 yang mengurangi biaya pendidikan dan menyederhanakan kurikulum, yang akhirnya mengahasilkan reorganisasi 1892.

1.Kurikulum
Sekolah rendah sebelum 1892 tidak mempunyai kurikulum yang uniform, walaupun dalam peraturan 1817 ada petunjuk yang menentukan kegiatan sekolah. Ada empat mata pelajaran yang di haruskan, yakni membaca, menulis, bahasa (bahasa daerah atau melayu ), dan berhitung. Bahasa pengantar adalah bahasa daerah. Bila bahasa lokal tidak sesuai maka digunakan bahasa melayu. Di perbatasan sering digunakan dua bahasa dan di samping itu juga digunakan bahsa melayu, sehingga anak di situ mempelajari tiga bahasa. Agama tidak di ajarkan, seperti halnya di negri belanda pada masa liberal. Statuta 1874 menyataknan bahwa semua pengajaran agama di larang di sekolah pemerintah, akan tetapi ruang kelas dapat digunakan untuk kepentingan itu di luar jam pelajaran.
2.Fasilitas
Pada umumnya gedung sekolah di seluruh Indoneia tidak serasi, terlalu kecil, kurang penerangan dan ventilasi, lembab dan sering pula bocor. Ada kalanya pendopo juga digunakan untuk sekolah, yang juga berfungsi sebagai tempat pengadilan, rapat, dan tujuan-tujuan lain.
Perabot sekolah terdiri dari bangku, papan tulis, lemari, meja, dan kursi. Pada tahun 1856 sekolah krawang menggunakan meja rendah, sedangkan anak-anak duduk di lantai. Suatu pengumuman pada tahun 1870 bahkan menyatakan bahwa anak-anak harus duduk di lantai dan bukan di bangku.
Buku-buku disediakan oleh depot ala pengajaran yang didirikan pada tahun1878. Kepala sekolah harus mengajukan permohonan sekali setahun, sebaiknya pada bulan januari. Buku-buku dicetak oleh percetakan pemerintah di jakarta, semua buku di karang oleh orang belanda, termasuk buku dengan bahasa daerah dan melayu tanpa konsultasi dengan orang Indonesia yang ahli dalam bahasa tersebut.
3.Buku Pelajaran
Sutu buku yang ditentukan ialah Kitab Edja dan Batja oleh F.A Luitjes ( terbitan pertama tahun 1891 ), terdiri atas 23 halaman. Buku bacaan bagi mereka yang telah menguasai keterampilan dasar membaca, ditulis oleh L.K. Harmsen. Kitab Akan Dibatjai, buku ini berisi cerita-cerita dari Seribu Satu Malam, Hitopadesa, dan Fabel-Fabel Yunani. Semua bernada moral dimana yang baik akan selau menang dan yang jahat akan selalu mendapat hukuman.
Cerita-cerita serupa ini sangat populer pada masa liberal. Buku yang digunakan Van Duyn digunakan untuk belajar tulisan Arab. Ia menggunakan metode sintetik yang sama, yakni mulai dengan menggunakan huruf, suku kata yang dikombinasikan menjadi kata dan kalimat. Pada saat pemerintah mulai membuka sekolah setelah tahun 1850, hanya buku kristen yang tersedia. Buku ini tidak sesuai dengan anak-anak jawa, karena mayoritas mereka beragama islam dan buku-buku tersebut mayoritas berbahasa melayu yang sulit mereka pahami.
4.Guru-Guru
Pendidikan guru menjadi masalah penting dalam masa perluasan pendidikan. Sekolah guru (Kweekschool) pertama dibuka pada tahun1852 di solo, segera diikuti oleh sekolah guru lainnya di pusat bahasa-bahasa utama di Indonesia. Sekolah-sekolah ini menghasilkan lebih dari 200 guru antara tahun 1887 sampai dengan 1892. Setelah depresi ekonomi jumlahnya mulai dikurangi. Sebelum adanya sekolah guru ini, sebelumnya tidak syarat khusus untuk menjadi seorang guru. Karena gudang dan kantor pemerintah dapat diterima menjadi seorang guru.
Mutu pendidikan pada saat itu juga masih sangat rendah, apalagi di luar jawa. Ada pula kelas-kelasa yang besar sekali. Pada tahun 1859 seorang guru di Kaibodo (Seram) harus menghadapi 285 murid dan di manado 260 murid dalam satu kelas. Karena kebutuhan guru yang mendesak setelah tahun 1863, pemerintah memutuskan untuk mengangkat guru tanpa pendidikan, menjadi sebagai guru pada tahun 1875 diadakan ujian bagi mereka yang ingin mendapat kualifikasi guru tanpa melalui sekolah guru.

No comments:

Post a Comment