Tulisan saya kali ini hanya spekulatif saja sifatnya, karena menarik sekali membicarakan mengenai alternatif sejarah atau jalannya sejarah yang berbeda. Marilah kita menggunakan mesin waktu dan kembali pada abad 16. Mengapa abad ke-16? Karena yang hendak kita ulas di sini adalah bagaimana jika negeri kita tidak pernah dijajah oleh Bangsa Barat. Misalnya entah bagaimana caranya kita sanggup membuat agar kapal bangsa Barat, baik Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris tidak sampai ke Kepulauan Nusantara. Anggap saja kita punya teknologi canggih untuk melakukannya. Apabila kita kemudian kembali ke abad 21, kita akan menyaksikan berbagai perubahan. Bangunan-bangunan bergaya kolonial menjadi lenyap. Berbagai bangunan peninggalan pemerintah kolonial akan hilang begitu saja. Sebagai contoh, kita tidak akan menjumpai lagi bangunan Stasiun Kota yang dahulu berdiri di Jakarta. Sebagai gantinya akan muncul berbagai bangunan bergaya lokal atau tradisional, walaupun tidak menutup kemungkinan ada pengaruh gaya arsitektur dari luar, termasuk Barat; namun perkembangan arsitektur akan sama sekali berbeda. Kita akan mendapatkan suatu negeri yang lebih maju, karena tidak ada penghisapan kekayaan oleh pemerintah kolonial. Baik. Apa yang baru saja diuraikan di atas adalah sekedar pengantar saja. Kini kita akan memasuki pemaparan yang lebih sistematis.
Kita kembali ke abad 16 dahulu. Apabila bangsa Barat tidak pernah datang ke Kepulauan Nusantara, maka berbagai kerajaan akan tumbuh pesat. Sebagai contoh, Kesultanan Aceh barangkali akan menguasai seluruh Sumatera Utara dan sebagian Semenanjung Malaka. Perluasan imperium Aceh ini akan ditahan oleh Kesultanan Johor Riau Lingga di sebelah selatannya, dan juga Siak Sri Indrapura. Kesultanan Aceh dan Johor Riau Lingga akan berbagi Semenanjung Malaya, sehingga di abad ke-21, kita barangkali tidak akan mengenal Malaysia maupun Singapura. Berbagai negeri di pedalaman kemungkinan akan tetap dibiarkan berdiri, seperti sibayak-sibayak di Karo dan partuanan-partuanan di Simalungun. Mereka kemungkinan akan menjalin persekutuan atau federasi dengan Aceh. Jauh lebih ke selatan Sumatera terdapat kerajaan-kerajaan kuat seperti Jambi dan Palembang. Apabila kerajaan-kerajaan ini dapat mempertahankan kedaulatannya, akan ada paling tidak lima kerajaan utama di Sumatera pada abad ke-21, yakni Aceh, Johor Riau Lingga, Siak Sri Indrapura, Jambi, dan Palembang. Kerajaan-kerajaan ini bisa saja mengikat federasi longgar, umpamanya bernama Federasi Kerajaan-kerajaan Sumatera.
Di Jawa, jika tidak ada penjajah, Banten dan Cirebon di penghujung Barat pulau Jawa akan tetap berdiri. Sementara itu Mataram juga akan tetap menjadi kerajaan kuat. Kemungkinan Mataram akan sanggup menaklukkan Banten, karena Sultan Agung tidak perlu membagi kekuatannya dengan melawan VOC. Kemungkinan kita tidak akan mengenal nama Jakarta, karena Sultan Agung kemungkinan akan menamainya dengan nama bernuansa Jawa. Meskipun demikian, di abad ke-17 bisa saja timbul intrik di tengah kerajaan Mataram, sehingga Mataram boleh jadi tetap terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Era perpecahan ini boleh jadi terjadi pada abad ke-17 dan 18. Meskipun Perang Diponegoro tidak terjadi (konsekuensinya kita yang hidup di abad 21 tidak akan menyaksikan patung-patung Diponegoro), tetapi kemungkinan tetap terjadi perang-perang lain dalam memperebutkan tahta Mataram. Asumsi ini diambil karena dalam sejarahnya, semenjak zaman Hindu Buddha, peperangan perebutan tahta sudah kerap terjadi. Jadi ada atau tidaknya penjajah, perang perebutan tahta akan tetap terjadi. Hal ini barangkali dipergunakan oleh Banten memaklumkan kedaulatannya lagi. Oleh karenanya barangkali di abad ke 21 kita menyaksikan Jawa yang terpecah menjadi beberapa kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah kemungkinan juga akan membentuk federasi longgar. Sementara itu, Banten dan Cirebon akan tetap bertahan di penghujung Barat Pulau Jawa. Mungkin sekali, jika hendak bepergian ke Banten atau Cirebon kita memerlukan visa.
Di Kalimantan bertumbuh beberapa kerajaan seperti Mempawah, Landak, Sambas, Pontianak, Kutai Kertanegara, Banjar, dan lain-lain. Pada abad ke-16, suku Dayak masih hidup menurut kesukuannya. Meskipun demikian, seiring dengan bertumbuhnya konsep negara modern di abad ke-19, kemungkinan muncul beberapa negeri suku Dayak yang berbentuk republik (meniru Amerika). Beberapa kerajaan juga tidak mustahil akan membentuk federasi longgar di antara mereka.
Kini kita beralih ke Sulawesi. Semenjak abad ke-16, Gowa Tallo telah berkembang menjadi kerajaan kuat dan memperluas imperiumnya. Kemungkinan hampir seluruh Sulawesi akan berada di bawah kekuasaan Gowa Tallo. Bone tidak akan menjadi kerajaan kuat, karena VOC tidak membantu Arung Palakka dalam menegakkan kembali kemerdekaan Bone. Tidak dapat dipastikan berapa lama Gowa Tallo dapat mempertahankan imperiumnya. Namun gerakan kemerdekaan di awal abad ke-20, barangkali mendorong berbagai daerah palili Gowa Tallo melepaskan dirinya. Oleh karena itu, kita barangkali dapat menyaksikan kemunculan berbagai kerajaan atau republik kecil di Sulawesi semasa awal abad ke-20. Gowa Tallo mungkin berakhir seperti Kekaisaran Austria Hongaria yang dilanda perpecahan internal (muncul negara-negara baru pecahan Austria Hongaria, seperti Hongaria, Cekoslovakia, Rumania, dll). Namun jika Gowa Tallo sanggup mempertahankan kesatuannya, maka di penjuru Timur Kepulauan Nusantara kita masih akan menjumpai Kesultanan Gowa Tallo, selalu entitas politik penting di Sulawesi.
Lebih ke Timur lagi, kita menjumpai Kepulauan Maluku. Ternate, Tidore, dan Bacan kemungkinan masih akan terus bertarung memperebutkan hagemoni. Jika ketiga kerajaan ini terus berebut hagemoni, maka kemungkinan Bacan akan terlebih dahulu musnah. Oleh karena itu, tinggal tersisa dua kerajaan saja, yakni Ternate dan Tidore. Di abad ke-21 barangkali hanya salah satu di antara dua kerajaan tersebut yang menjadi penguasa atas seluruh teritorial Maluku. Atau jika kedua-duanya masih ada akan berbagi kekuasaan di Maluku.
Sementara itu di Bali, kita akan tetap menyaksikan berbagai kerajaan. Jumlahnya mungkin kurang dari delapan. Gianyar barangkali akan tetap ditaklukkan oleh Klungkung. Sejarah membuktikan bahwa Gianyar berlindung pada Belanda agar tidak dihancur leburkan oleh kerajaan lainnya. Jika tidak ada Belanda, tentunya kemungkinan besar Gianyar akan musnah. Kerajaan yang berpotensi menjadi terkuat di Bali adalah Karangasem dan Badung. Klungkung mungkin masih diakui sebagai Susuhunan, tetapi sifatnya hanya seremonial belaka. Kemungkinan kerajaan-kerajan di Bali ini juga akan membentuk federasi dengan raja Klungkung, Badung, dan Karangasem sebagai motor penggeraknya. Catatan: Karangasem ini di abad 19 sesungguhnya merupakan vasal kerajaan Mataram Lombok (Cakranegara). Perpecahan internal di Lombok antara Mataram Lombok dengan masyarakat Sasak barangkail akan memampukan Karangasem menegakkan lagi kekuatannya.
Di Nusa Tenggara Timur dan Barat, kita juga akan menyaksikan beberapa kerajaan yang berdiri sendiri dan membentuk federasi longgar di antara mereka. Imperium Mataram Lombok akan tetap berdiri dengan menguasa sebagian atau seluruh Lombok. Era kebangkitan bangsa-bangsa di abad ke-19 barangkali akan menyebabkan penguasa Mataram Lombok berbagai Pulau Lombok dengan para pemuka Sasak. Akan timbul negara Sasak yang terpisah dari Mataram Lombok, baik dengan cara damai ataupun peperangan. Sementara itu di Timor, imperium Sonbai akan tetap bertahan. Beberapa kerajaan seperti Amanuban, Amanatun, Amarasi, dll juga akan bertahan hingga abad ke-21. Mereka juga tidak mustahil membentuk suatu federasi longgar.
Demikianlah secara sekilas gambaran sejarah alternatif perkembangan politik di Kepulauan Nusantara jika tidak pernah terjadi penjajahan.
Selama era abad ke-19, kemungkinan banyak raja atau sultan yang menyekolahkan putera atau puterinya ke luar negeri. Seiring dengan pembentukan negara modern, barangkali masing-masing kerajaan tersebut akan kerap merundingkan tapal batasnya di abad ke-19.
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah semangat pembentukan negara Jerman (German Empire) oleh Otto von Bismarck. Kondisi Jerman waktu itu mirip dengan kondisi negeri kita di abad ke-19, yakni terpecah menjadi banyak kerajaan. Apakah akan muncul seorang Bismarck yang menyatukan Nusantara? Jika demikian halnya barangkali di akhir abad ke-19 dunia akan menyaksikan munculnya Federasi Kerajaan-kerajaan Nusantara. Wilayahnya bisa jadi mencakup pula Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara. Barangkali Kesultanan Sulu di Mindanao juga bergabung ke dalamnya.
Satu hal lagi yang tak pernah ada adalah jalan lintas pantura, karena Daendels tak akan pernah menginjakkan kakinya di Kepulauan Nusantara.
Demikianlah analisa saya yang mungkin bisa saja salah, karena saya bukanlah sejarawan handal. Mohon komentar, masukan, dan koreksinya dari rekan-rekan yang lebih mengerti.
No comments:
Post a Comment